Positive Vibes Ternyata Juga Bisa Toxic Lho!
Pada tahun 2016 silam, ada satu film animasi yang memenangkan sejumlah Oscar Academy Awards ke-88. Film itu merupakan salah satu film animasi terbaik dalam sejarah, yakni film yang berjudul Inside Out (2015).
Meski film ini merupakan film animasi, tentu alur kisahnya mudah dimengerti dan relatable buat semua umur. Gimana nggak? Tema yang diangkat pun adalah hal yang umum kita semua rasakan, yakni soal emosi.
Dalam film ini, dikisahkan seorang anak perempuan bernama Riley. Sejak kecil, Riley dibesarkan oleh orang tuanya dengan kebahagiaan. Wajar apabila akhirnya Riley senantiasa gembira dalam menjalani kehidupannya sehari-hari.
Emosi yang bahagia inilah yang akhirnya berusaha dijaga oleh pengendali emosi di kepala Riley, yakni Joy yang bertanggung jawab untuk mengatur emosi bahagia, Sadness yang bertanggung jawab soal emosi kesedihan, Fear yang mengurusi ekspresi ketakutan, Anger yang mengatur emosi kemarahan, dan Disgust yang bereaksi bila melihat hal yang menjijikkan.
Memang sih, ketika hidup di rumah lamanya, Riley selalu bisa merasa bahagia dengan keluarga dan teman-temannya. Namun, semua berubah ketika keluarganya pindah ke rumah baru.
Menghadapi perubahan ini, Joy berusaha keras agar Riley tetap merasa bahagia. Pokoknya, bagi Joy, Riley harus menghadapi semuanya dengan energi-energi positif dan kebahagiaan.
Padahal, Sadness sendiri sudah mulai merasakan urgensi bahwa dirinya perlu terkadang mengambil alih – agar Riley bisa memproses emosinya. Joy pun tetap memaksa untuk tetap memegang kendali.
Nah, apa yang digambarkan oleh film Inside Out ini sebenarnya juga menggambarkan bagaimana positivity seperti yang diusung oleh Joy tidaklah selalu baik. Ada kalanya kita perlu memproses kesedihan dan amarah yang dialami.
Positivity yang berlebihan semacam ini bisa jadi adalah apa yang disebut oleh banyak pakar sebagai toxic positivity. Sederhananya, toxic positivity dapat didefinisikan sebagai keyakinan bahwa dirinya harus selalu memiliki sikap yang positif dan bahagia (cheerful) – bahkan dalam situasi yang paling sulit.
Nah, keyakinan seperti inilah yang akhirnya diyakini oleh Joy. Sebisa mungkin, Joy ingin Riley tetap merasa bahagia meskipun perubahan-perubahan signifikan dalam hidupnya membuat Riley merasa kesulitan untuk beradaptasi.
Meski begitu, kendali penuh Joy bukan berarti perlu dialihkan kepada Sadness. Bagaimana pun, mirip dengan Joy, Sadness juga memiliki kecenderungan untuk membuat emosinya dominan dengan berbagai keraguan dan kekhawatiran yang menyelimuti Sadness.
Nah, bila hal sebaliknaya ini terjadi, dengan Sadness yang mendominasi penuh, Riley bisa jadi akan mengalami apa yang disebut sebagai toxic negativity. Kerap kali, keraguan dan kekhawatiran yang berlebih ini membuat individu tersebut kesulitan dalam menjalani berbagai tantangan kehidupan.
Hmm, lantas nih, apa jadinya sih seandainya Joy dan Sadness kita masing-masing malah mendominasi? Apa dampak yang bisa muncul terhadap orang-orang di sekitar kita – mulai dari pasangan, keluarga, teman, hingga lingkungan kerja – bila kita mengalami toxic positivity atau toxic negativity?
Tanpa kita sadari, toxic positivity atau negativity yang kita punya bisa mempengaruhi orang-orang di sekitar kita – bahkan orang-orang terdekat kita. Sikap positif yang berlebih, misalnya, membuat orang-orang di sekitar kita menjadi sulit terbuka kepada diri kita.
Dalam sebuah hubungan (relationship), masalah pasti akan selalu eksis dan menjadi penting untuk membahasnya secara jujur. Namun, toxic positivity membuat orang terdekat kita merasa bersalah bila merusak positivity yang kita punya.
Alhasil, masalah yang ada malah menumpuk tuh. Ini bakal menjadi semacam bom waktu yang bisa meledak kapan saja – membuat relationship tersebut rusak pada akhirnya.
Tidak hanya toxic positivity, toxic negativity juga mempengaruhi orang-orang di sekitar kita. Keraguan, kekhawatiran, kecurigaan dan luapan emosi dari toxic negativity membuat orang-orang di sekitar kita menjadi ikut terbawa kepada negativity tersebut. Berada di sekitar orang yang selalu mengeluarkan keluhan negative akan membuat orang sekitar ikut merasa kelabu dan emosi serta energinya ikut terkuras juga (emotionally drained).
Alhasil, perkembangan dalam sebuah relationship semakin sulit untuk terjadi. Ruang (space) bagi diri masing-masing yang terlibat dalam hubungan tersebut akhirnya menjadi semakin sempit dan sempit.
Apalagi, sifat-sifat toxic negativity ini juga membuat diri kita lebih mudah untuk mengkritik dan mengomentari banyak hal – bahkan termasuk kepada mereka yang kita sayangi. Tidak menutup kemungkinan, ini bisa menciptakan disharmoni dalam relationship yang kita miliki.
Pada akhirnya, toxic positivity atau toxic negativity yang (mungkin) kita punya bisa berdampak pada kehidupan sehari-hari. Bahkan, tanpa kita sadari, ini pun bisa berdampak pada orang-orang yang kita sayangi.